Sejarah

Bandung tempo dulu jauh berbeda dengan hari ini. Di tahun-tahun awal kemerdekaan Republik Indonesia, jumlah penduduk kota bandung hanya 644.475 jiwa. Luas wilayahnya tidak seluas sekarang. Udaranya masih sangat sejuk. Kabut pagi menjadi pemandangan sehari-hari. Namun suasana Kota Bandung di tahun 1950 jauh dari kata sejuk. Sejak soevereiniteitsoverdracht (penyerahan kedaulatan) ditandatangani di  Amsterdam 27 Desember 1949 keadaan menjadi tidak menentu.

Secara resmi pemerintahan Hindia Belanda telah berakhir, Walikota Besar Bandung telah diserah terimakan dari E. Cores yang orang Belanda kepada R. Enoch orang Indonesia. Namun di sisi militer, pengabungan tentara Koninklijke Nederlandsch Indische Leger (KNIL) ke dalam Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat (APRIS) yang merupakan bekas musuhnya, tidak berjalan mulus. Tentara KNIL masih menempati tangsi-tangsi militer mereka.

Keadaan di dalam kota sangat tidak aman. Banyak kelompok kriminal bersenjata berkeliaran dimana-mana. Angka kriminalitas begitu tinggi.  Komandan Militer Kota Besar Bandung saat itu Letkol Sentot Iskandar Di Nata sampai merasa perlu memberlakukan jam malam pada pukul 24.00 sampai 05.00 untuk hari biasa, dan pukul 02.00 sampai 05.00 untuk malam Minggu. Kehidupan Bandung pada tahun 1950 digambarkan dengan baik dalam film lama berjudul Lewat Djam Malam karya Usmar Ismail.

Pada hari Kamis tanggal 5 Januari 1950, Kapten Raymond Westerling bekas Komandan Depot Speciale Troepen KNIL mengirim surat kepada pemerintah Republik Indonesia Serikat (RIS). Isinya :  menuntut agar Pemerintah RIS mengakui Angkatan Perang Ratu Adil (APRA) sebagai tentara Negara Bagian Pasundan. Pemerintah RIS harus memberikan jawaban positif dalam waktu tujuh hari dan apabila ditolak akan timbul perang besar. Tanggal 22 Januari 1950 malam beredar kabar sejumlah anggota pasukan Depot Speciale Troepen KNIL dengan persenjataan berat telah melakukan desersi dengan meninggalkan tangsi militer di Batujajar. Mereka diduga bergabung dengan Westerling.

Di malam dengan suasana tidak menentu seperti itu, sekelompok dokter gigi Bandung mengadakan pertemuan di Coffee Shop Lobby Hotel Savoy Homann. Hotel 4 lantai yang didirikan oleh Adolf Homann pada tahun 1871, saat itu memang paling populer dan banyak digunakan sebagai tempat pertemuan. Ada tiga belas orang dokter gigi yang datang pada rapat malam itu, mereka adalah:

  1. R.G. Soeria Soemantri                                     Djl. Bungsu
  2. Fredrik Wilhelmus Petrus Karthaus                  Djl. Atheh 1C
  3. Kwa Kong Ing                                                   Logeweg 14 Pav
  4. R. Adang Djajawiredja                                      Djl. Astanaanjar 14
  5. The Se Hon                                                      Oude Hospitaalweg 8
  6. Siem Kie Hian                                                   Merdikaweg 44
  7. E. Kaltofen                                                        Dagoweg 40
  8. Tjen A. Pat                                                        Frisiastraat 11
  9. Siem Kie Liat                                                     Djl. Naripan 47
  10. Tjiook Kiem Tjing                                              Wilhelminaboulevard 1
  11. R.M. Soelarko                                                   Sumatrastraat 50
  12. F.H. Li                                                                Naripanweg 26
  13. Birkenfeld                                                          Heemskerkstraat 14

Pertemuan tanggal 22 Januari 1950 itu, kelak di kemudian hari menjadi tonggak penting dalam sejarah dokter gigi Indonesia. Pada tanggal itulah awal berdirinya Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI). Adalah R.G. Soeria Soemantri, berinisiatif dan mengundang sejumlah dokter gigi ke Hotel  Savoy Homman dan menghasilkan kesepakatn pendirian PDGI. R.G. Soeria Soemantri adalah Indisch Tandarts (dokter gigi) lulusan School Tot Opleiding van Indisch Tandartsen (STOVIT) Surabaya, tahun 1937. Sudah sejak kuliah beliau mencita-citakan adanya organisasi yang mempersatukan dokter gigi di Indonesia.

Membuka rapat Soeria Soemantri mengemukakan gagasan untuk mendirikan suatu persatuan untuk menghimpun semua dokter gigi di Indonesia.Menurutnya untuk menyusun tenaga dalam pembangunan tanah air di lapangan kedokteran gigi, semua dokter gigi harus dipersatukan dengan tidak membeda-bedakan golongan, bangsa, agama, dan aliran.

Saat itu di Indonesia telah ada dua organisasi yang menaungi dokter gigi, yaitu Maatschappij ter Bevordering der Tandheelkunde in Nederland Indie dan Chinese Bond van Artsen, Tandartsen en Apothekers; hal ini pula yang menjadikan pertemuan sedikit hangat. Namun akhirnya dengan suara bulat dan penuh antusiasme, menjelang tengah malam,  sekitar pukul 22.00 WIB,   mereka sepakat mempersatukan seluruh dokter gigi dalam sebuah organisasi bernama Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI).

Sangat disayangkan pertemuan penting malam itu tidak sempat diabadikan. Tak seorang pun yang membawa kamera untuk mengambil foto. Untungnya di tengah pertemuan, R.M Soelarko berinisiatif membuat presentielijst (daftar hadir) di atas kertas amenity hotel berlogo Savoy Homann. Selembar kertas yang kemudian dibawa pulang dan disimpan oleh R.M. Soelarko inilah yang kemudian menjadi saksi bisu pendirian Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI).

Adapun susunan kepengurusan sementara Persatuan Dokter Gigi Indonesia  (PDGI) yang disepakati dalam pertemuan tersebut sebagai berikut :

            Ketua             : R. G. Soeria Soemantri

            Wakil Ketua  : F.H. Lie

            Penulis          : R. M. Soelarko

            Bendahara    : Siem Kie Liat

Para peserta pertemuan menyepakati PDGI Bandung sebagai cabang dan pemegang inisiatif untuk mengadakan propaganda pendirian cabang-cabang PDGI di kota lain,  sedangkan pengurus besar akan ditentukan dalam sebuah kongres yang diusahakan sudah dapat terlaksana pada April 1950 di Jakarta.

Disepakati pula untuk membentuk panitia yang akan menyusun konsep anggaran dasar, panitia perpustakaan yang akan membentuk perpustakaan kedokteran gigi, serta panitia istilah yang memikirkan istilah untuk ilmu kesehatan gigi. Selaian itu seluruh peserta rapat diminta untuk memikirkan konsep pendidikan mantri gigi. Pertemuan anggota selanjutnya disepakati dilakukan pada minggu pertama awal bulan dengan iuran bulanan Rp. 10 untuk mengusahakan mesin ketik.

Bergegas pulang menjelang jam malam para peserta pertemuan kembali ke rumahnya masing-masing. Esok harinya 23 Januari 1950, para desersi Koninklijke Nederlands-Indische Leger (KNIL) yang menamakan dirinya Angkatan Perang Ratu Adil (APRA) di bawah pimpinan Kapten Raymond Westerling menyerbu Kota Bandung dan menebar teror.

Sumber : Buku 70 Tahun Persatuan Dokter Gigi Indonesia (2020)