PDGI Minta Pembahasan RUU Kesehatan Dihentikan
Penghentian pembahasan perlu dilakukan agar dapat dipersiapkan pembahasan secara komprehensif dan substansial, hingga akan didapatkan UU Kesehatan yang baik dan tidak menimbulkan dampak yang merugikan, demikian ditegaskan oleh Ketua PB PDGI drg. Usman Sumantri, M.Sc. Selain PDGI, RPD yang dipimpin oleh Pimpinan Panja RUU Kesehatan, Melkiandes Laka Lena, juga dihadiri oleh IDI (Ikatan Dokter Indonesia), PPNI (Persatuan Perawat Nasional Indonesia), IAI (Ikatan Apoteker Indonesia) dan IBI (Ikatan Bidan Indonesia).
Di luar lima organisasi yang tergabung dalam Sekretariat Bersama Organisasi Profesi Kesehatan, RPD juga dihadiri perwakilan dari IAKMI (Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia), PERSAKMI (Perhimpunan Sarjana Kesehatan Masyarakat Indonesia), PDSI (Perkumpulan Dokter Seluruh Indonesia), PDUI (Perhimpunan Dokter Umum Indonesia), PDPKMI (Perhimpunan Dokter Puskesmas Indonesia), PAFI (Persatuan Ahli Farmasi Indonesia), MFI (Masyarakat Farmasi Indonesia), Ikatan Ahli Gizi Kesehatan Masyarakat Indonesia, GASKESLAB (Gabungan Pengusaha Alat Kesehatan dan Labortorium), dan AIPKI (Asosiasi Institusi Pendidikan Kedokteran Indonesia).
Pada kesempatan ini, PDGI juga menyampaikan masukan tertulis kepada DPR yang telah menampung masukan dari seluruh pengurus PDGI Cabang serta Wilayah, Ikatan Keahlian serta Majelis Kolegium Kedokteran Gigi Indonesia (MKKGI), Asosiasi Fakultas Kedokteran Gigi Indonesia (AFDOKGI), dan Asosiasi Rumah Sakit Gigi dan Mulut Indonesia (ARSGMPI). Ada lima pokok pikiran dalam masukan PDGI yaitu agar negara hadir pada kesehatan gigi, perihal organisasi profesi, menolak kriminalisasi tenaga medis dan kesehatan, perihal pendidikan spesialis hospital based, serta proses RUU Kesehatan Omnibus Law.
Agar Negara Hadir Pada Kesehatan Gigi
Mengenai kesehatan gigi yang merupakan concern utamanya, pada RDP tersebut PDGI mengharapkan agar negara semakin hadir pada kesehatan gigi. Perlu dipertegas peran Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah agar hadir pada pelayanan kesehatan gigi hingga mendapatkan prioritas yang memadai mengingat kondisi kesehatan gigi dan mulut masih sangat memprihatinkan, yang terutama dapat dilihat pada hasil RISKESDAS 2018 yang diselenggarakan Kementerian Kesehatan RI.
Kesehatan gigi merupakan bagian integral dari seluruh kesehatan dan kesejahteraan rakyat hingga perlu mendapatkan prioritas yang memadai, karena permasalahan di bidang kesehatan gigi dapat menimbulkan permasalahan serius bukan hanya dalam sektor kesehatan namun jug berdampak pada sektor-sektor kehidupan masyarakat lainnya.
Selama ini Pemerintah dan Pemerintah Daerah telah hadir pada kesehatan gigi berdasarkan Pasal 94 UU No, 36/2009 tentang Kesehatan: “Pemerintah dan pemerintah daerah wajib menjamin ketersediaan tenaga, fasilitas pelayanan, alat dan obat kesehatan gigi dan mulut dalam rangka memberikan pelayanan kesehatan gigi dan mulut yang aman, bermutu, dan terjangkau oleh masyarakat.”
Namun sayangnya pada RUU Kesehatan Omnibus Law ketentuan tersebut ditiadakan. Sehubungan dengan hal tersebut PDGI mengusulkan pasal 72 ayat (3) yang mengatur mengenai kesehatan gigi menjadi: “Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah bersama masyarakat bertanggung jawab menyelenggarakan pelayanan kesehatan gigi dan mulut.” Dengan demikian negara yang selama ini hadir pada pelayanan kesehatan gigi akan tetap hadir pada UU Kesehatan yang baru.
Organisasi Profesi
Pada UU Kesehatan diharapkan menjamin semakin dikembangkan dan diperkuat peran OP (Organisasi Profesi) yang bagi para dokter gigi di seluruh Indonesia orgnisasinya adalah PDGI yang selama ini telah memberikan darma baktinya bagi masyarakat, bangsa, dan negara Indonesia khususnya di bidang kesehatan gigi.
Organisasi Profesi sebagai wadah berhimpun tenaga medis dan tenaga kesehatan diperlukan dalam rangka mengorganisasikan pelaksanaan pengabdian profesi di tengah masyarakat agar dapat berlangsung dengan baik, hingga perlu dijamin kepastian legalitasnya pada UU Kesehatan.
Pada RDP tersebut oleh PDGI disampaikan bahwa suatu ranah utama organisasi profesi adalah etika profesi serta pembinaan dan pengembangan profesionalisme. Dengan demikian organisasi profesi mengemban peran di bidang etika profesi dan profesionalisme.
PDGI sebagai satu-satunya organisasi profesi dokter gigi selama ini telah ditetapkan pada UU no 29/2004 tentang Praktik Kedokteran dan UU no 36/2014 tentang Tenaga Kesehatan. Hal ini terutama dalam kaitan dengan etika profesi diperlukan, karena dengan adanya wadah tunggal untuk masing-masing profesi maka tidak akan terjadi seseorang anggota profesi yang diberhentikan dari suatu organisasi profesi karena melakukan pelanggaran, terutama pelanggaran etik, lalu dapat “menyelamatkan diri” berpindah ke organisasi lain. Hingga dalam hal etika dan profesionalisme suatu profesi dibutuhkan wadah tunggal untuk menjalankannya.
Penyebutan nama OP antara lain PDGI sebagai organisasi profesi dokter gigi pada RUU Kesehatan terdapat pada penjelasan pasal 475. Kalau pada UU Praktik Kedokteran penyebutan nama OP terdapat pada batang tubuh UU kini pada RUU hanya pada penjelasan. PDGI berpendapat bahwa penyebutan nama organisasi profesi pada UU Kesehatan tidak dapat dihilangkan, hal ini agar terdapat legalitas dan kepastian secara hukum.
Selanjutnya dalam kaitan dengan etika profesi, PDGI berpendapat bahwa rekomendasi untuk mendapatkan izin praktik diperlukan sebagai keterangan dari organisasi profesi mengenai etika profesi seseorang dalam menjalankan praktik.
Sesuai dengan perkembangan percabangan ilmu maka masing-masing percabangan ilmu membentuk perhimpunan ilmu yang berada dalam organisasi profesi (OP) yang dalam hal ini pada PDGI, dalam bentuk Ikatan Keahlian maupun Ikatan Peminatan yang menghimpun para dokter gigi spesialis dan dokter gigi sesuai dengan spesialisasi ataupun peminatan berdasarkan keilmuan masing-masing. Dengan demikian dalam rangka pengembangan percabangan ilmu bagi pengabdian profesi maka tatanan yang selama ini berjalan dengan baik perlu tetap dipertahankan pada UU Kesehatan.
Pada RDP tersebut PDGI memaparkan bahwa, kolegium sebagai badan otonom pengampu cabang ilmu berperan dalam pengembangan dan pelaksanaan penerapan cabang ilmu dalam pengabdiannya di tengah masyarakat. Dalam rangka pelaksanaan penerapan cabang ilmu yang merupakan pelaksaanaan profesionalisme tenaga medis dan tenaga kesehatan dalam pengabdian profesi di tengah masyarakat, maka kolegium dibentuk dan berada di bawah perhimpuan ilmu yang merupakan bagian dari organisasi profesi.
Selanjutnya PDGI mengemukakan, peran organisasi profesi adalah melakukan peningkatan dan pemutahiran profesionalisme anggotanya. Hal ini dilakukan dalam bentuk CPD (Continuing Professional Development) yang di PDGI dijalankan dalam bentuk P3KGB dan pada RUU Kesehatan adalah Pelatihan Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan Untuk Penjagaan dan Peningkatan Mutu.
Pada RUU Kesehatan inisiatif DPR sebagai Penyelenggara CPD adalah Menteri, Organisasi Profesi, atau lembaga lain yang diakreditasi oleh organisasi profesi. (dengan demikian P3KGB tetap menjadi kegiatan PDGI). Dengan demikian sama sekali tidak tepat bila diselenggarkan oleh Pemerintah Pusat dan/atau lembaga pelatihan lain yang terakreditasi oleh Pemerintah Pusat, karena hal ini tidak sesuai dengan hakikat organisasi profesi untuk pengembangan profesionalisme anggota.
Menolak Kriminalisasi Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan
Dalam pernyataannya, MKKGI menyampaikan RUU Kesehatan omnibus law bersifat diskriminatif dan berpotensi terjadinya kriminalisasi terhadap Dokter dan Tenaga Kesehatan. PDGI mengemukakan bahwa hal yang belum tercakup pada RUU Kesehatan adalah upaya untuk tidak terjadi kecenderungan kriminalisasi terhadap tenaga medis dan tenaga kesehatan yaitu kecenderungan untuk dengan mudah setiap dugaan pelanggaran praktik dimasukkan ke ranah pidana.
PDGI mengenai hal ini berpendapat perlu menyusun ketentuan peraturan perundang-undangan yang jelas dan definitif untuk memilah pelanggaran pidana, pelanggaran perdata, dan pelanggaran administrasi pada pelayanan kesehatan.
Secara konkret PDGI mengusulkan Ditambahkan pasal 282 ayat (1) butir a1: “Tidak dapat dituntut secara pidana dan/atau digugat secara perdata terhadap tenaga medis dan tenga kesehatan yang menjalankan kegiatan/praktiknya sesuai dengan standar profesi, standar pelayanan profesi, standar prosedur operasionl dan etika pasien serta kebutuhan kesehatan pasien.”
Selain itu PDGI mengharapkan Pada UU Kesehatan sebaiknya tidak memuat ulang ketentuan tentang pelanggaran praktik tenaga medis dan tenaga kesehatan yang sudah diatur pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Hal ini agar sesuai dengan hakikat sebagai UU Kesehatan dan bukannya malah menjadi UU Pemidanaan Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan.
Pendidikan Spesialis Secara Hospital Based
Terhadap rencana pendidikan spesialis secara Hospital Based sebagaimana tercantum pada Naskah RUU Kesehatan dan dari pernyataan Menteri Kesehatan, dalam pernyataannya AIPKI dengan tegas menyatakan Menolak.
Mengenai rencana pengembangan Hospital Based atau Collegium Based, AFDOKGI mengusulkan perlunya penguatan pada implementasi AHS (Academic Health System) (AHS) sebagai mekanisme yang pendekatan melalui integrasi sistem pendidikan dan pelayanan kesehatan yang telah diinisiasi melalui PokJaNas. Implementasi AHS di Kedokteran Gigi masih terus dikembangkan dalam 1 tahun. Hal ini juga dapat berupaya untuk mendorong pemerataan penyebaran Dokter Gigi dan Dokter Gigi Spesialis di Indonesia.
Sehubungan rencana pengembangan Hospital Based atau Collegium Based pada pendidikan spesialis, ARSGMPI memberikan pandangan bahwa hal tersebut sangat sulit dilaksanakan mengingat keterbatasan SDM (khususnya drg spesialis di RS lain) sebagai pendidik yang setingkat dari Prodi Spesialis yang akan dididik. Saat ini istilah Hospital base Pendidikan profesi dan spesialis sudah berjalan dengan Kerjasama yang sangat baik antara hospitan dan universitas dimana seluruh Pendidikan profesi dilaksanakan di RSGM dengan menggunakan instrument Pendidikan dan kurikulum dari Universitas, dimana RSGM berperan sebagai Center Pendidikan yang bertugas untuk pemenuhan kompetensi dan Universitas sebagai pelaksana administrasi, penyusunan kurikulum dan pemberian gelar dan ijazah.
Selanjutnya ARSGMPI menandaskan, perlunya penguatan pada implementasi Academic Health System (AHS) dimana RSGM ikut berperan dalam jejaring Pendidikan Bersama RS dan faskes lain yang terlibat terutama untuk Kerjasama dalam pemenuhan SDM, Sarana dan Prasarana serta pemenuhan kasus dengan menggunakan 1 SIP di semua jejaring AHS.
Proses RUU Kesehatan Omnibus law
Secara umum, PDGI berpendapat RUU Kesehatan secara omnibus law karena mencoba menggabungkan beberapa UU menjadi satu terlihat bahwa banyak hal yang telah diatur secara cukup rinci pada UU yang ada kemudian pengaturan tersebut tidak terdapat dan akan diatur kemudian dengan Peraturan Pemerintah maupun Peraturan Menteri. Dengan demikian banyak hal yang telah diatur dalam UU kemudian pengaturannya akan dilakukan pada level yang lebih rendah hingga perlu dipertimbangkan efektivitasnya.
MKKGI menilai proses awal penyusunan draft RUU Kesehatan OBL telah bermasalah karena tidak taat asas dan prematur. Pasal-pasal yang disusun terlihat banyak yang saling kontradiktif dan hal ini dapat terjadi karena proses penyusunan yang terburu-buru dan tidak memperhatikan partisipasi publik sesungguhnya.
Selanjutnya MKKGI menyampaikan, mengacu pada aspek filosofis, yuridis dan sosiogis, RUU Kesehatan OBL tidak lebih baik dari UU yang sudah ada dan yang akan dihapuskan. Hal ini akan memberikan dampak negatif pada profesi kedokteran di Indonesia. Pasal-pasal dalam RUU Kesehatan omnibus law ini tidak hanya menghilangkan kewenangan Organisasi Profesi tetapi juga menghilangkan eksistensi Organisasi Profesi. Fungsi kontrol terhadap kualitas pelayanan di masyarakat patut kami ragukan bila RUU tersebut disahkan.
PDGI berpendapat, usulan masyarakat dan juga dari organisasi profesi kesehatan setelah melalui berbagai proses dinamika dapat dikatakan diakomodasi pada RUU Kesehatan inisiatif DPR. Namun sayangnya pada keterangan pemerintah dalam rangka DIM (Daftar Inventarisasi Masalah), ternyata terdapat kecenderungan banyak sekali dimasukkannya lagi pencantuman hal-hal krusial yang selama banyak dikritisi.
PDGI memandang perlu dihentikan dahulu pembahasan RUU Kesehatan sambil dipersiapkan konsepsi yang lebih matang. Dalam pembahasan RUU Kesehatan agar dipertimbangkan dengan seksama berbagai esensi permasalahan dan aspirasi masyarakat maupun dari kalangan profesi kesehatan dalam rangka memajukan pembangunan kesehatan Indonesia, serta agar dihindari hal-hal yang dapat meresahkan di bidang kesehatan. [Paulus Yanuar, Humasdatin]